-->
  • Jelajahi

    Copyright © Info Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Radio

    Kenangan sosok Rahman Arge Ketua Umum PWI SULSEL Selama 20 TAHUN

    Andi Ahmad
    Kamis, 31 Juli 2025, Juli 31, 2025 WIB Last Updated 2025-08-06T09:19:19Z




    Ketua PWI CABANG MAKASSAR  dan KETUA PWI Provinsi  SULSEL  Tahun (1972-1992)

    Infoindomaju.com- MAKASSAR-"RAHMAN ARGE.  Ketua PWI SULAWESI SELATAN terlama masa jabatan, selama 20  Tahun  (1972-1992),  Memimpin  organisasi Wartawan Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Makassar hingga berubah menjadi PWI Cabang Sulawesi Selatan, jadi PWI Provinsi  Sulawesi Selatan Selama 20 tahun Sebelum ada SULBAR masi gabung SULSEL, dan  menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan dua periode, dan anggota DPR/MPR RI satu periode.

    Berlanjut, kemudian  digantikan  H. M. Alwi Hamu.



    Pada hari Senin, 10 Agustus 2015 pukul 09.45 Wita, berpulang ke rakhmatullah Bapak Abd.Rahman Gega, yang akrab disapa Rahman Arge atau Arge. Almarhum dilahirkan di Makassar 17 Juli 1935, meninggalkan seorang istri, IBU WIEDARNARSIH dan 5 orang anak, masing-masing: M Yuniar Arge, Amalia Arge, Fajar Arge, Upika Raina Arge, dan Ani Nurani Arge, beserta 10 cucu.


    Ia, seorang yang multi talenta. Pada dirinya, melekat sejumlah predikat; sebagai budayawan, seniman, aktor, penulis naskah puisi/drama/skenario film, politisi, dan tentu saja wartawan.


    Jejaknya sebagai wartawan berawal pada tahun 1955 bersama sahabatnya yang sudah lebih dulu berpulang ke rahmatullah, Arsal Alhabsy. 

    Semula, almarhum hampir menjadi pegawai Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda. 

    Tetapi, Arsal selalu mengajaknya bergaul dengan M Basir, Salman AS, LE Manuhua, dan Achmad Siara.

    Dari mereka itulah, Arge menemukan atmosfir dan suasana tentang betapa idealnya menjadi wartawan. 

    Mulailah Arge dan Arsal ‘magang’ di Pedoman Rakyat dan Marhaen. 

    Di  PR keduanya dibimbing langsung oleh M Basir. Arge ditugasi menulis sebuah opini 

    "tentang sebuah fakta. Arsal menulis tentang kehidupan kelas menengah dengan judul ’’Paradoks’’. Arge mengambil tema mengenai hari Imlek."

    Pada tahun 1959, karena banyak meliput pada strata kelas menengah, "PR" membuka rubrik minggu yang menampung tulisan yang ringan-ringan. Muncul pula sebuah lembaga yang menamakan dirinya Lembaga Seni dan Film Rakyat (LESFIRA) yang dipimpin Henk Rondonuwu yang juga termasuk salah seorang wartawan senior, bahkan internasional.


    Henk Rondonuwu juga terlibat dalam pembuatan teater dan film. Lembaga yang dipimpinnya, LESFIRA pun membikin film. Arge sebagai salah seorang wartawan dan kala itu berusia sekitar 23 tahun. 

    Ia menjadi salah seorang pemeran utama film tersebut. Sutradaranya dari Jakarta. Ternyata, di balik lembaga ini terselip aspek politik. LESFIRA dituding sebagai kelompok Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

    Di sudut Jl. Bawakaraeng dengan Lapangan Karebosi sekarang ini, Arge dkk membentuk Lembaga Kebudayaan Indonesia Sulawesi Selatan. Perfilman menjadi bagian dari lembaga ini. 

    Waktu itu diproduksi satu film berjudul Prajurit Teladan, yang  merupakan produk bersama antara Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan Tenggara, LESFIRA, dan pemilik modal. Arge memegang peran utama dalam film tersebut.

    Persoalan politik masuk. Arge masih bekerja di Harian Marhaen yang merupakan penerbitan dari Kelompok PNI yang jelas anti Permesta. Arge kemudian dipanggil Achmad Massiara dan Salman AS.

    Arge berada di dalam posisi yang dilematis. Tiga hari kemudian, Arge datang ke Kantor Marhaen dan menyatakan keluar dari Marhaen.


    Dia malu jika kembali ke Marhaen. Rencana mundur dari penerbitan tersebut sudah diceritakan dan diketahui keluarga. Tetapi, ketika syuting film Prajurit Teladan di lapangan Karebosi menjelang 30%-40% dan Ani Kesuma termasuk salah satu bintangnya, pihak LESFIRA giliran mengadili Arge. Karena berprinsip Bugis, setelah keluar dari Marhaen, Arge juga memilih keluar dari LESFIRA.

    Pada tahun 1960 Arge  menjadi penulis freelance. Beruntung dia punya teman seorang Arsal Alhabsy. Dia termasuk seorang yang penuh inisiatif dan menerbitkan mingguan politik SWARA. Bersamaan dengan terbitnya SWARA, partai politik pun mulai menanamkan pengaruhnya. Selain sebagai wartawan,  Arge juga bekerja sama dalam pementasan teater dengan beberapa orang.  

    Lalu muncullah Radjadin Daeng Lau bersama Ramiz Parenrengi menerbitkan Mingguan Bawakaraeng dalam bentuk majalah. 

    Arge, Arsal, dan Ramli Otoluwa (Ramto) tetap menerbitkan SWARA dalam bentuk tabloid.
    SWARA berada dalam tiga kekuatan. Di Makassar ada  Komando Militer Kota Besar (KMKB) dan komandannya adalah Syamsuddin Djanggo, ayah Letjen TNI Syafrie Syamsuddin (mantan Wakil Menteri Pertahanan).

    Pada saat Kodam dipimpin Pak Sayidiman, almarhum Syamsuddin DL dipecat sebagai Ketua PWI. Dia dianggap insubordinasi. Melalui Harian Tegas, Pak Syam – demikian tentara yang juga wartawan dan pengurus PSM ini karib disapa -- menulis pojok yang intinya melawan pemecatan tersebut.

    "Kalau tidak di dunia, nanti kita ketemu di akhirat," begitulah kurang lebih salah satu kalimat yang digores Pak Syam.

    Arge selaku Wakil Ketua PWI, jelas membela ketuanya. Maka, keluarlah tulisan di Harian Tegas bertajuk "Kepemimpinan ABRI di Sulselra Memakai Gaya Napoleon Bonaparte."


    Ternyata, gara-gara tulisan itu, Arge diciduk. Belakangan setelah persoalan selesai, Arge memperoleh informasi yang mengerikan. Panglima Kodam XIV Hasanuddin pengganti Sayidiman, Brigjen TNI Azis Bostan, berkisah kepada Arge yang saat itu ditemani Arsal dan Ramiz Parenrengi.


    Sebagai seorang aktor,  di bidang perfilman nasional dia meraih  Piala Citra Harapan pada Festival Film Indonesia (FFI) di Makassar pada tahun 1978. Wajahnya pernah muncul di layar perak dalam beberapa judul film antara lain Latando di Toraja, dan Senja di Pantai Losari serta Embun Pagi garapan Djamaluddin Effendy.

    Rahman Arge dia seorang guru jurnalistik bagi para wartawan muda. 


    Direktur Utama Fajar Group, H.M.Alwi Hamu, dengan jujur mengakui,  Arge adalah gurunya.

    "Dia itu guru saya,’’ Alwi yang mantan Ketua PWI Sulsel mengakui.

    Arge pernah berkata, ketika seorang penulis meninggal dunia, dia memiliki dua batu nisan. Satu batu nisan di atas pusaranya, dan satu batu nisan lainnya adalah tulisan-tulisannya yang dibaca oleh setiap orang yang mengaguminya. (*)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini